“Islam itu sesungguhnya lebih dari satu sistem agama saja; Islam
adalah satu kebudayaan yang lengkap”. Demikian diungkapkan oleh H.A.
Gibb dalam bukunya yang terkenal Wither Islam. Pengakuan senada juga
banyak diberikan oleh pakar Islam dari kalangan Barat. Jika pihak Barat
banyak memberikan pengakuan yang kurang lebih sama, konon lagi dari
kalangan Islam sendiri, seperti keyakinan umum yang berkembang di
kalangan umat Islam bahwa Islam adalah agama yang universal dan
komprehensip meliputi berbagai bidang (Q.S.16:89), meskipun
penjelasannya ada yang bersifat rinci dan garis besar. Oleh sebab itu,
Islam disebut juga sebagai agama yang “hadir di mana-mana”
(omnipresence); sebuah pandangan yang meyakini bahwa di mana-mana
kehadiran Islam selalu memberikan panduan etik yang benar bagi setiap
tindakan manusia2
Ajaran Islam yang demikian telah
mendorong umatnya untuk mengerahkan segala daya dan upaya bagi kebaikan
dan kesejahteraan umat manusia, termasuk dalam pengembangan kebudayaan.
Upaya-upaya tersebut kemudian telah menghasilkan suatu prestasi
peradaban baru yang tinggi yang dikenal dengan “peradaban Islam” yang
dalam sejarahnya telah memberikan andil yang cukup besar bagi kemajuan
peradaban dunia. Ayat-ayat Alquran memang banyak memberikan dorongan
kepada umat manusia bagi pengembangan kebudayaan.
Sifat akomodatif Islam terhadap budaya tidak berarti bahwa Islam
menerima begitu saja segala wujud kebudayaan yang ada. Karena jika
demikian Islam seolah-olah dipahami tidak memiliki nilai-nilai dasar
bagi pengembangan kebudayaan. Karena itu pertanyaan selanjutnya adalah
dalam hal apa Islam dapat berakulturasi dan dalam batas apa yang tidak?
Apakah Islam melalui ajaran-ajaran dasarnya mendukung bagi pengembangan
kebudayaan? Sejauhmana peran yang dimainkan umat Islam bagi pengembangan
kebudayaan? Bagaimana model akulturasi antara agama dan budaya yang
ditawarkan Islam? Pertanyaan-pertanyaan ini akan dikaji berdasarkan
perspektif kerukunan.
Dasar-Dasar Islam dalam Pengembangan Budaya.
Ada sejumlah prinsip dasar yang terkandung di dalam Alquran
dan hadis, sehingga umat Islam dapat mengembangkan kebudayaan secara
maksimal. Prinsip-prinsip tersebut antara lain:
1. Penghargaan terhadap akal fikiran
Islam menempatkan akal fikiran dalam posisi yang tinggi, sebagaimana firman-Nya dalam Surat Ali Imran:190, 191:
إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافِ اللَّيْلِ
وَالنَّهَارِ لَآيَاتٍ لِأُولِي الْأَلْبَابِ(190)الَّذِينَ يَذْكُرُونَ
اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَى جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي
خَلْقِ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَذَا بَاطِلًا
سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ(191)
ِArtinya: Sesungguhnya
dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang
terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang
yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan
berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi
(seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan
sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa
neraka.(Q.S.3:190,191).
Hadis nabi menyatakan: “Agama itu adalah akal, tidak ada agama bagi seseorang yang tidak mmpunyai akal”
2. Anjuran menuntut ilmu
Anjuran atau dorongan Islam agar umat Islam menguasai ilmu pengetahuan
ini antara lain dijelaskan dalam surah al-Mujadalah: 11 berbunyi:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِذَا قِيلَ لَكُمْ تَفَسَّحُوا فِي
الْمَجَالِسِ فَافْسَحُوا يَفْسَحِ اللَّهُ لَكُمْ وَإِذَا قِيلَ انْشُزُوا
فَانْشُزُوا يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ ءَامَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ
أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ(11)
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, apabila dikatakan kepadamu:
"Berlapang-lapanglah dalam majelis", maka lapangkanlah, niscaya Allah
akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan: "Berdirilah
kamu, maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang
beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan
beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu
kerjakan.(Q.S.58:11).
Hadis nabi berbunyi: ”Menuntut
Ilmu itu wajib atas tiap-tiap orang Islam, laki-laki maupun
perempuan”.Dalam hadis lain juga dinyatakan: “Tutntutlah ilmu dari
buaian sampai ke liang lahat”.
3. Larangan untuk taklid
Kecaman Allah terhadap orang yang taklid antara lain dijelaskan Alquran
sebagaimana firman-Nya dalam surat Al-Isra: 36 berbunyi:
وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا(36)
Artinya: Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai
pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati,
semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.(Q.S.17: 36).
4. Anjuran Islam untuk berinisiatif dan inovatif
Penghargaan Islam akan nilai suatu kreasi dijelaskan lewat keterangan
hadis nabi: “Barangsiapa memulai satu cara (keduniaan) yang baik, dia
akan mendapat ganjaran orang-orang yang mengerjakan cara yang baik itu
sampai hari kiamat”.
5. Penekanan pentingnya kehidupan dunia
Dorongan agar manusia berhasil di dalam kehidupan dunia dijelaskan oleh Alquran surat Al-Qashas:77 yang berbunyi:
وَابْتَغِ فِيمَا ءَاتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الْآخِرَةَ وَلَا تَنْسَ
نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا وَأَحْسِنْ كَمَا أَحْسَنَ اللَّهُ إِلَيْكَ
وَلَا تَبْغِ الْفَسَادَ فِي الْأَرْضِ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ
الْمُفْسِدِينَ(77)
Artinya: Dan carilah pada apa yang telah
dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah
kamu melupakan bahagianmu dari (keni`matan) duniawi dan berbuat baiklah
(kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan
janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah
tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.(Q.S.28: 77).
Hadis: “Bekerjalan untuk keduniaanmu, seolah-olah engkau akan hidup
selama-lamanya dan bekerjalah untuk akhiratmu seolah-olah engkau akan
mati besok hari”
Motivasi yang diberikan Alquran dan
hadis nabi dalam hal pengembangan budaya dalam sejarah Islam terbukti
telah menghasilkan pretasi budaya yang luar biasa. Puncaknya sebagaimana
terlihat pada masa Abbasiah yang kemudian dikenal dengan kebudayaan
Islam. Prestasi demikian didukung oleh peran penguasa Islam (khalifah),
yang memberikan perhatian terhadap pengembangan budaya. Para ilmuwan
sangat dilindungi, diberikan perhatian yang istimewa oleh para penguasa
tanpa memandang latar belakang ilmuwan tersebut: apakah beragama Islam
atau tidak, bangsa Arab atau tidak.
Tidak hanya itu, orang-orang
yang kaya yang memiliki harta berlimpah juga umumnya sangat menaruh
perhatian yang cukup besar dalam hal pengembangan budaya. Sebagian harta
mereka digunakan untuk pengembangan budaya Dengan kata lain segenap
elemen masyarakat terlibat dan mendukung dalam hal pengembangan ilmu dan
budaya. Kondisi demikianlah yang menyebabkan umat Islam berhasil
menjadi bangsa yang besar bangsa yang memiliki prestasi luar biasa dalam
melahirkan budaya, yang dikenal dengan kebudayaan Islam. Kebudayaan ini
sesungguhnya lahir dari kemampuan umat Islam dalam mengembangkan
berbagai budaya yang telah berkembang dan mapan pada masa sebelumnya,
terutama kebudayaan Romawi, dan Persia.
Kebudayaan yang
dikembangkan oleh umat Islam tersebut meliputi berbagai bidang
keilmuwan, seperti Medis, Astronomi, Fisika, Matematika, arsitektur, dan
ilmu-ilmu lain di samping ilmu agama. Ilmuwan-ilmuwan yang sangat
berjasa dalam pengembangan ilmu tersebut di antaranya adalah Ibn Rusyd,
Al-Farabi, Al-Kindi (Filosof), Ibn Sina (kedokteran), Al-Mawardi (tata
negara), Al-Biruni (Fisika), Al-Khawarizmi, Umar Khayyam (matematika),
dan lain-lain.
Kebudayaan Islam pada masa itu
dianggap sebagai yang spektakuler’ sungguh prestasi budaya yang sangat
tinggi di saat kebudayaan lain,khususnya Eropa masih dalam tahap
kemunduran .
Akulturasi Islam dan Budaya di Indonesia
Sejak awal perkembangannya, Islam di Indonesia telah menerima
akomodasi budaya. Karena Islam sebagai agama memang banyak memberikan
norma-norma aturan tentang kehidupan dibandingkan dengan agama-agama
lain. Bila dilihat kaitan Islam dengan budaya, paling tidak ada dua hal
yang perlu diperjelas: Islam sebagai konsespsi sosial budaya, dan Islam
sebagai realitas budaya. Islam sebagai konsepsi budaya ini oleh para
ahli sering disebut dengan great tradition (tradisi besar), sedangkan
Islam sebagai realitas budaya disebut dengan little tradition (tradisi
kecil) atau local tradition (tradisi local) atau juga Islamicate,
bidang-bidang yang “Islamik”, yang dipengaruhi Islam5.
Tradisi besar (Islam) adalah doktrin-doktrin original Islam yang
permanen, atau setidak-tidaknya merupakan interpretasi yang melekat
ketat pada ajaran dasar. Dalam ruang yang lebih kecil doktrin ini
tercakup dalam konsepsi keimanan dan syariah-hukum Islam yang menjadi
inspirasi pola pikir dan pola bertindak umat Islam. Tradisi-tradisi ini
seringkali juga disebut dengan center (pusat) yang dikontraskan dengan
peri-feri (pinggiran).
Tradisi kecil (tradisi local,
Islamicate) adalah realm of influence- kawasan-kawasan yang berada di
bawah pengaruh Islam (great tradition). Tradisi local ini mencakup
unsur-unsur yang terkandung di dalam pengertian budaya6 yang meliputi
konsep atau norma, aktivitas serta tindakan manusia, dan berupa
karya-karya yang dihasilkan masyarakat.
Dalam istilah
lain proses akulturasi antara Islam dan Budaya local ini kemudian
melahirkan apa yang dikenal dengan local genius, yaitu kemampuan
menyerap sambil mengadakan seleksi dan pengolahan aktif terhadap
pengaruh kebudayaan asing, sehingga dapat dicapai suatu ciptaan baru
yang unik, yang tidak terdapat di wilayah bangsa yang membawa pengaruh
budayanya7. Pada sisi lain local genius memiliki karakteristik antara
lain: mampu bertahan terhadap budaya luar; mempunyai kemampuan
mengakomodasi unsur-unsur budaya luar; mempunyai kemampuan mengintegrasi
unsur budaya luar ke dalam budaya asliu; dan memilkiki
kemampuanmengendalikan dan memberikan arah pada perkembangan budaya
selanjutnya8.
Sebagai suatu norma, aturan, maupun
segenap aktivitas masyarakat Indonesia, ajaran Islam telah menjadi pola
anutan masyarakat. Dalam konteks inilah Islam sebagai agama sekaligus
telah menjadi budaya masyarakat Indonesia. Di sisi lain budaya-budaya
local yang ada di masyarakat, tidak otomatis hilang dengan kehadiran
Islam. Budaya-budaya local ini sebagian terus dikembangkan dengan
mendapat warna-warna Islam. Perkembangan ini kemudian melahirkan
“akulturasi budaya”, antara budaya local dan Islam.
Budaya-budaya local yang kemudian berakulturasi dengan Islam antara lain
acara slametan (3,7,40,100, dan 1000 hari) di kalangan suku Jawa.
Tingkeban (nujuh Hari). Dalam bidang seni, juga dijumpai proses
akulturasi seperti dalam kesenian wayang di Jawa. Wayang merupakan
kesenian tradisional suku Jawa yang berasal dari agama Hindu India.
Proses Islamisasi tidak menghapuskan kesenian ini, melainkan justru
memperkayanya, yaitu memberikan warna nilai-nilai Islam di
dalamnya.tidak hanya dalam bidang seni, tetapi juga di dalam
bidang-bidang lain di dalam masyarakat Jawa. Dengan kata lain kedatangan
Islam di nusantara dalam taraf-taraf tertentu memberikan andil yang
cukup besar dalam pengembangan budaya local.
Pada
sisi lain, secara fisik akulturasi budaya yang bersifat material dapat
dilihat misalnya: bentuk masjid Agung Banten yang beratap tumpang,
berbatu tebal, bertiang saka, dan sebagainya benar-benar menunjukkan
ciri-ciri arsitektur local. Sementara esensi Islam terletak pada “ruh”
fungsi masjidnya. Demikian juga dua jenis pintu gerbang bentar dan
paduraksa sebagai ambang masuk masjid di Keraton Kaibon. Namun
sebaliknya, “wajah asing” pun tampak sangat jelas di kompleks Masjid
Agung Banten, yakni melalui pendirian bangunan Tiamah dikaitkan dengan
arsitektur buronan Portugis,Lucazs Cardeel, dan pendirian menara
berbentuk mercu suar dihubungkan dengan nama seorang Cina: Cek-ban Cut9.
Dalam perkembangan selanjutnya sebagaimana diceritakan
dalam Babad Banten, Banten kemudian berkembang menjadi sebuah kota.
Kraton Banten sendiri dilengkapi dengan struktur-struktur yang
mencirikan prototype kraton yang bercorak Islam di Jawa, sebagaimana di
Cirebon, Yogyakarta dan Surakarta. Ibukota Kerajaan Banten dan Cirebon
kemudian berperan sebagai pusat kegiatan perdagangan internasional
dengan ciri-ciri metropolitan di mana penduduk kota tidak hanya terdiri
dari penduduk setempat, tetapi juga terdapat perkampungan-perkampunan
orang-orang asing, antara lain Pakoja, Pecinan, dan kampung untuk orang
Eropa seperti Inggris, Perancis dan sebagainya.
Dalam
bidang kerukunan, Islam di daerah Banten pada masa lalu tetap
memberikan perlakuan yang sama terhadap umat beragama lain. Para
penguasa muslim di Banten misalnya telah memperlihatkan sikap toleransi
yang besar kepada penganut agama lain. Misalnya dengan mengizinkan
pendirian vihara dan gereja di sekitar pemukiman Cina dan Eropa. Bahkan
adanya resimen non-muslim yang ikut mengawal penguasa Banten.
Penghargaan atau perlakuan yang baik tanpa membeda-bedakan latar
belakang agama oleh penguasa dan masyarakat Banten terhadap umat
beragama lain pada masa itu, juga dapat dilisaksikan di kawasan-kawasan
lain di nusantara, terutama dalam aspek perdagangan. Penguasa Islam di
berbagai belahan nusantara telah menjalin hubungan dagang dengan bangsa
Cina, India dan lain sebagainya sekalipun di antara mereka berbeda
keyakinan.
Aspek akulturasi budaya local dengan Islam
juga dapat dilihat dalam budaya Sunda adalah dalam bidang seni vokal
yang disebut seni beluk10.. Dalam seni beluk sering dibacakan jenis
cirita (wawacan) tentang ketauladanan dan sikap keagamaan yang tinggi
dari si tokoh. Seringkali wawacan dari seni beluk ini berasal dari unsur
budaya local pra-Islam kemudian dipadukan dengan unsur Islam seperti
pada wawacan Ugin yang mengisahkan manusia yang memiliki kualitas
kepribadian yang tinggi. Seni beluk kini biasa disajikan pada
acara-acara selamatan atau tasyakuran, misalnya memperingati kelahiran
bayi ke-4- hari (cukuran), upacara selamatan syukuran lainnnya seperti
kehamilan ke-7 bulan (nujuh bulan atau tingkeban), khitanan, selesai
panen padi dan peringatan hari-hari besar nasional.
Akulturasi Islam dengan budaya-budaya local nusantara sebagaimana yang
terjadi di Jawa didapati juga di daerah-daearah lain di luar Jawa,
seperti Sumatera Barat, Aceh, Makasar, Kalimantan, Sumatera Utara, dan
daerah-daerah lainnya. Khusus di daerah Sumatera Utara, proses akulurasi
ini antara lain dapat dilihat dalam acara-acara seperti upah-upah,
tepung tawar, dan Marpangir.
Eksklusivisme Islam menuju Inklusivisme
Jika dalam wilayah non-teologis atau sosial kemasyarakatan
Islam begitu sangat akomodatif terhadap budaya local, berbeda halnya
dengan wilayah-wilayah lainnya, terutama berkenaan dengan aspek teologis
(aqidah). Dalam masalah teologis ini Islam menarik garis demarkasi
secara tegas. Islam tampil dengan wajah yang sangat eksklusif. Penegasan
Islam ini termaktub di dalam Alquran surah Al-Ikhlas, dan surah
Al-Kafirun yang tercermin dalam dua kalimah sahadah. Inilah doktrin
sentral Islam yang kemudian disebut dengan tauhid; pengakuan
kemahakuasaan dan kemutlakan Tuhan serta penegasan bahwa Muhammad nabi
terakhir yang diutus Tuhan bagi umat manusia di muka bumi.
Klaim-klaim eksklusif Islam sebagaimana tercermin dalam doktrin teologis
tersebut tidak berarti umat Islam menjadi umat yang eksklusif yang
menafikan pluralisme. Karena Islam juga sangat menekankan inklusivisme,
sebagaimana dinyatakan dalam sumber-sumber primer Islam (misalnya Q.S
al-Kafirun:6, Q.S.al-Hujarat:13) dan sebagaimana pula yang telah
dipraktikkan dalam sejarah awal pembentukan masyarakat Islam.
Gambaran ideal tentang kerukunan antara umat Islam dan non-Islam
sebagaimana yang dicontohkan nabi dan yang kemudian menjadi model bagi
tata laku kehidupan bermasyarakat dan bernegara ini secara original
dapat dilihat dalam butir-butir “Piagam Madinah”. Dalam piagam ini
hak-hak penganut agama Yahudi untuk hidup berdampingan secara damai
dengan umat Islam dinyataan secara tegas. Harkat dan martabat
kaumYahudipun kemudian terangkat dari sekedar klien kesukuan menjadi
warga negara yang sah sebagaimana yang dialami oleh kaum muslimin. Tidak
ada perbedaan perlakuan antara keduanya. Posisi demikian ini tidak
pernah dimiliki kaum Yahudi sejak invasi Babilonia pada 586 SM. Dalam
bingkai negara Madinah inilah kaum Yahudi dapat menjalankan ajaran
agamanya sesuai dengan ajaran Taurat. Tidak hanya itu, negara Madinah
juga menjamin dan memikul tanggung jawab tentang ke-Yahudian itu.
Perlakuan negara Madinah yang demikian adil tanpa diskriminasi,
khususnya terhadap komunitas Yahudi ini mengantarkan peradaban Yahudi
dengan berbagai aspeknya mencapai masa “keemasannya” di bawah
pemerintahan Islam.
Situasi dan kondisi yang istimewa tersebut
juga dialami oleh kaum Nasrani, terutama pasca “futuhat” Makkah. Kaum
Kristen Najran Yaman mendatangi Nabi untuk memperjelas posisi mereka
vis-à-vis negara Islam. Delegasi mereka ini diterima dengan baik oleh
Nabi. Sebagian mereka kemudian memeluk agama Islam. sementara yang lain
tetap pada keyakinan agamanya di dalam kerangka negara Islam. Nabi
kemudian mengukuhkan posisi mereka sebagai ummah yang khas, sebagaimana
halnya yang dialami oleh kaum Yahudi.
Praktik kerukunan
sebagaimana yang dicontohkan nabi Muhammad diteruskan oleh para sahabat
nabi sebagaimana yang dilakukan Umar bin Khattab ketika melakukan
ekspansi ke wilayah-wilayah Bizantium Kristen. Ketika wilayah ini
ditaklukkan, Umar mengadakan perjanjian dengan uskup setempat yang
berisi tentang jaminan Islam akan eksistensi Kristen di dalam kekuasaan
Islam.
Prinsip persamaan, keadilan dan kebebasan yang diberikan
oleh penguasa Islam kepada umat-umat lain ini yang kemudian menyebabkan
umat Kristen tumbuh dan berkembang secara luas. Bahkan pada abad-abad
pertama hijriah, mayoritas penduduk di dalam entitas politik Muslim
adalah penganut Kisten. Situasi demikian tidak mereka dapati pada
masa-masa sebelumnya seperti pada masa kekuasaan Roma Kristen maupun
Bizantium Yunani.
Prinsip prinsip luhur kerukunan tersebut juga
dapat dijumpai pada hampir di wilayah-wilayah kekuasaan Islam lainnya,
seperti di anak Benua India. Di wilayah ini para penganut, Hindu dan
Budha mendapat hak yang sama sebagaimana yang diperoleh kaum Yahudi dan
Nasrani. Ketika kekuasaan Islam berakhir, masyarakat tetap berada pada
keyakinan semula. Hal ini membuktikan bahwa prinsip toleransi atau
kerukunan tetap menjadi pegangan bagi para penguasa muslim.
Bahkan perkembangan peradaban Islam yang mencapai puncaknya pada masa
Abbasiyah antara lain disebabkan oleh pengembangan teologi kerukunan
ini. Sukar dibayangkan bahwa kemajuan ilmu dan peradaban Islam tanpa
peran serta dari penganut umat beragama lain. Dalam tahapan perkembangan
kebudayaan Islam dengan segenap aspeknya hampir selalu berpijak pada
akar kerukunan. Perkembangan sains dan teknologi pada masa Abbasiyah
yang melahirkan berbagai cabang ilmu pengetahuan diawali dengan
keterlibatan ahli-ahli dari non Islam yang diawali dengan proses
penterjemahan besar-besaran seperti dari Nasrani dan Persia.
Sementara itu dialog-dialog ataupun tukar fikiran antara kaum Nasrani
dengan umat Islam sebagaimana dicatat Annemarie Schimmel juga sudah
mulai berjalan. Dialog-dialog tersebut umumnya dilaksanakan di
istana-istana para penguasa muslim, sekalipun saling pengertian dan
kerukunan timbal balik tidak berkembang sebagaimana yang diharapkan. Hal
ini disebabkan masih adanya prasangka-prasangka negatif dari
masing-masing pihak. Para teolog muslim misalnya mempelajari Perjanjian
Lama dan Perjanjian Baru untuk menyanggah Ketuhaan Yesus, dan penyalipan
Yesus, serta menuduh kaum Nasrani telah menyelewengkan kitab sucinya.
Sementara di pihak lain, kaum Nasrani mempelajari Islam hanya untuk
membuktikan bahwa Islam hanyalah agama bidat dan anti Kristus.
Hubungan antara Islam dan Kristen selama masa tersebut memang tidak
selalu berjalan dalam keadaan ko-eksistensi damai. Karena sejak abad IX M
telah mulai tampak benih-benih ketidakharmonisan itu. Hal ini
disebabkan antara lain perkembangan sosial politik di dalam kekuasaan
Islam sendiri yang telah memperlihatkan perpecahan. Ketidakstabilan
dalam bidang politik ini pada gilirannya mengganggu hubungan
Islam-Kristen.
Perbedaan doktinal antara Kristen dan Islam tidak
selalu mudah untuk didamaikan,bahkan mungkin dianggap sebagai sesuatu
yang musykil. Misalnya perbedaan antara Islam dan Kristen tentang
Ketuhanan Yesus, khususnya tentang penyalibannya. Pihak Islam umumnya
meyakini bahwa tidak ada penyaliban terhadapYesus (nabi Isa). Sementara
umat Kristiani penyaliban Yesus sebagai sesuatu keyakinan yang sudah
final. Demikian pula doktrin tentang kerasulan Muhammad. Umat Islam
meyakini bahwa Muhammad sebagai Nabi terakhir, akan tetapi umat Kristen
tidak mengakui hal ini. Kedua agama ini masing-masing tidak mengakui
adanya keselamatan di luar agamanya. Inilah beberapa prinsip fundamental
yang membedakan keduanya, sehingga sulit untuk disatukan.
Selain perbedaan-perbedaan doctrinal secara teologis, perbedaan
lain yang menempatkan Islam sebagai ajaran eksklusif adalah ajaran Islam
tentang larangan memakan hewan tertentu.(Q.S.al-Maidah:3).Ajaran ini
bagi Islam tidak bisa ditawar-tawar lagi sebagai hal yang mutlak yang
harus dipatuhi. Sementara dalam agama lain, terutama Kristen larangan
tentang memakan hewan tertentu (babi dan anjing) tidak ada. Di pihak
lain agama Hindu (India) ada larangan untuk memakan hewan tertentu,
sementara Islam justru menganjurkannya sebagai binatang kurban, misalnya
binatang sapi.
Perbedaan merupakan realitas kehidupan manusia
yang sengaja diciptakan Tuhan agar umat manusia berlomba-lomba menjadi
yang terbaik.(Q.S.49:13) Karena jika Tuhan berkehendak, tentu ia akan
menjadikan umat manusia menjadi satu umat saja tanpa perbedaan satu sama
lain.
Dengan demikian, agama dan budaya harus
dapat menjadi instrumen bagi pengembangan kebudayaan dan budaya
seharusnya dapat berjalan seiring dalam rangka memperkuat kerukunan
antar umat beragama
Jadi kerukunan beragama bukanlah berarti
penyatuan konsep-konsep teologis sentral dari masing-masing agama,
melainkan adanya saling memahami dan saling pengertian terhadap adanya
perbedaan-perbedaan doctrinal mendasar itu. Kerukunan dalam arti
penyatuan hanya bisa dimungkinkan pada wilayah-wilayah non teologis,
seperti sosial budaya dengan segenap unsur-unsur di dalamnya. Kerukunan
dalam makna inilah yang disebut dengan akulturasi budaya. Hal inilah
yang dilakukan umat Islam pada masa itu sehingga melahirkan kebudayaan
yang sangat tinggi yang dikenal dengan zaman keemasan Islam yang
mencapai puncaknya pada masa Abbasiyah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar